INDONESIASATU.CO.ID - Aktivitas Thrifting atau membeli baju bekas (tas, sepatu dll), kini semakin digemari masyarakat terutama anak muda. Ada beragam alasan yang membuat mereka membeli produk fesyen yang diimpor dari sejumlah negara. Mayoritas, karena harganya murah, kualitas baik, model bagus, tersedia dalam berbagai ukuran/size dan mayoritas ada di merek fesyen internasional.
Produk yang dibeli bisa secara langsung kepada pedagang konvensional juga lewat online thrift shop. Thrift shop merupakan salah satu solusi yang hadir untuk menjadi antitesis dari fast fashion. Menurut Urban Dictionary, thrifting adalah kegiatan berburu dan membeli pakaian bekas di toko/pedagang pakaian bekas atau barang antik.
Thrift shopping sendiri pada dasarnya bukanlah hal baru di Indonesia, mengingat di Indonesia sendiri, sudah ada pusat-pusat pasar barang bekas seperti Pasar Cimol di Gedebage, Bandung (Jawa Barat), Pasar Kodok di Tabanan (Bali), dan lain sebagainya, dan di beberapa daerah perdagangan pakaian bekas impor ini sudah puluhan tahun ditekuni oleh warga.
Tampaknya berbelanja pakaian bekas dan fenomena perdagangan ini ada dampak positifnya baik dari sisi pembeli (konsumen), maupun penjual terutama di sektor lapangan kerja. Thrifting dianggap sebagai ancaman untuk pelaku usaha pakaian sehingga muncul kebijakan yang melarang impor baju bekas.
Kebijakan ini tentunya jangan hanya bisa melarang dan menindak praktek dagang ini, tapi juga harus memberikan solusi baik bagi konsumen yang biasa membeli/memakai barang-barang impor bekas ilegal agar dapat tetap memilih (hak memilih) barang yang sesuai dengan selera dan kemampuan daya belinya, maupun bagi pedagang yang memperjualbelikan barang-barang impor bekas agar dapat tetap memperoleh nafkah untuk keluarganya.
Hak konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), salah satu hak konsumen sebagai mana tertuang dalam Pasal 4 angka 2 adalah *hak untuk memilih* barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang di janjikan.
UUPK bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan arti Perlindungan Konsumen sendiri adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen guna mewujudkan konsumen cerdas dan mandiri.
Hak-hak dasar umum (hak asasi) konsumen juga diakui secara internasional. Hak-hak tersebut pertama kali disuarakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962 melalui "A special Message for the Protection of Consumer Interest" yang dalam masyarakat internasional lebih dikenal dengan "Declaration of Consumer Right" atau disebut "The four consumer basic rights" ("empat hak dasar konsumen").
Salah satu hak-hak dasar konsumen dunia yang dideklarasikan itu adalah hak untuk memilih (the right to choose) barang dan/atau jasa yang dibutuhkan. Dalam menkonsumsi produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan di beli.
Selain itu, Resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi dan tanggal 15 Maret diperingati sebagai Hari Hak-hak Konsumen Dunia.
Konsumen memiliki hak untuk mengakses dan memilih produk/jasa pada tingkat harga yang wajar. Konsumen tidak boleh ditekan atau dipaksa untuk melakukan pilihan tertentu yang akan merugikan dirinya. Jenis pasar yang dihadapi konsumen akan menentukan apakah konsumen bebas memilih atau tidak suka membeli produk atau jasa tertentu. Bagi konsumen, hak memilih adalah hak prerogatif konsumen yakni apakah ia akan membeli atau tidak membeli barang dan/atau jasa tersebut.
Meski UUPK sudah berusia 24 tahun, namun masih banyak konsumen yang tidak mengetahui akan hak dan kewajibannya, sehingga angka pengaduan, sengketa dan pelanggaran terhadap hak konsumen dari tahun ke tahun masih cukup tinggi. Sementara di pihak lain konsumen adalah kekuatan besar bagi suatu negara dalam membangun perekonomiannya, maka dalam rangka perlindungan kepada konsumen, pemerintah melalui Keppres No.13 Tahun 2012 menetapkan Hari Konsumen Nasional. Karena suatu negara yang tidak hadir dalam melindungi konsumen ibarat menunggu bom waktu, selain melanggar konstitusi.
Tampaknya thrifting akan tetap digemari karena diminati konsumen dan pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali tentang kebijakan larangan perdagangan baju bekas ini dan memikirkan hal lain yang lebih penting, seperti masalah minyak goreng, gas 3 kg, kelangkaan/kenaikan beberapa komoditas sehari-hari masyarakat terutama menjelang hari raya lebaran ini atau masalah korupsi, dari pada mengurus pekerjaan yang dilematis seperti ini yang menyangkut isi perut/perekonomian rakyat. (***)
*) Penulis Dr. Firman Turmantara Endipradja, S.H., S.Sos., M.Hum./Ketua Perkumpulan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (PBPSK) Jawa Barat/Dosen Kebijakan Publik dan Hukum Perlindungan Konsumen.