BANDUNG JAWA BARAT - Sidang sengketa Pilpres 2024 telah selesai di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan hadirnya empat orang menteri Kabinet Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (5/4/2024), adapun Putusan MK soal sengketa Pilpres 2024 itu rencananya akan dibacakan pada hari Senin 22 April 2024 mendatang.
Ada beberapa prediksi terhadap putusan MK tersebut. Pertama, Keputusan MK bisa menolak permohonan Paslon 01 dan Paslon 03. Artinya putusan MK menguatkan hasil quick count KPU yaitu memenangkan Paslon 02 Prabowo-Gibran yang sudah menyepakati akan melanjutkan program kerja Presiden Joko Widodo. Kedua, MK berpeluang memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Dengan catatan bahwa Permohonan Paslon 01 ke MK adalah agar mendiskualifikasi calon wakil presiden dari Paslon 02 yaitu Gibran Rakabuming Raka. Artinya jika Permohonan ini dikabulkan MK, maka Calon Wakil Presiden harus dicarikan pengganti Gibran. Sedangkan, Permohonan Paslon 03 ke MK adalah agar mendiskualifikasi Paslon nomor urut 02 baik Calon Presiden maupun Calon Wakil Presiden yaitu Prabowo-Gibran.
Tentunya putusan MK ini akan berpengaruh terhadap siapa yang akan menjadi pemenang dalam Pemilu 2024 ini yang juga akan merubah pemerintahan dengan gaya baru yang akan menentukan model politik hukum perlindungan konsumen ke depan apakah akan tetap membebani konsumen/masyarakat.
Baca juga:
Politik Nasional dan Pangandaran Tahun 2014
|
Soediman Kartohadiprodjo menyebutkan, politik hukum adalah pemikiran yang menjadi dasar campur tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam hal pelaksanaan hukum, perkembangan hukum dan penciptaan hukum. (Soediman Kartohadiprodjo, 1984 : 210-211). Politik Hukum dimaksud dalam kajian ini adalah Politik Hukum Perlindungan Konsumen.
Contoh politik hukum perlindungan konsumen adalah masalah beras. Mengutip laman resmi Bank Indonesia bi.go.id/hargapangan, harga beras sudah naik sejak 1 Agustus 2023 lalu. Menjelang dan pasca pemilu, di masyarakat berkembang isu bahwa mahal dan langkanya beras di pasaran karena akibat stok beras digudang habis karena digunakan untuk diberikan kepada masyarakat dalam bentuk/yang diakibatkan teralih kepada bantuan sosial (bansos).
Baca juga:
Tony Rosyid: Semua Sepakat Pemilu 2024
|
Contoh lain dari politik hukum perlindungan konsumen yang tidak berpihak malah membebani masyarakat atau konsumen adalah kebijakan tentang minyak goreng sawit yang merupakan salah satu bahan pokok yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kemelut minyak goreng ini sudah terjadi sejak November 2019 dan berlanjut sampai menjelang hari lebaran terutama harganya yang cukup tinggi.
Krisis beras dan minyak goreng yang cukup berkelanjutan dan berlarut² hingga pasca Pemilu membuat rakyat sebagai konsumen termasuk pelaku usaha menderita. Peristiwa yang terjadi terhadap dua komoditas ini (beras dan minyak goreng) dapat dikatakan belum pernah terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Seperti diketahui menjelang dan pasca pemungutan suara Pemilu 2024 ini, selain masalah minyak goreng dan beras yang belum benar² normal, harga sejumlah komoditas utama pangan di rata-rata wilayah Indonesia mengalami kenaikan.
Politik hukum perlindungan konsumen yang lain yang membebani masyarakat atau konsumen adalah kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung di bulan Februari 2019 atas dasar keberatan dan judicial review yang dilakukan masyarakat. Akan tetapi Pemerintah kembali mengeluarkan lagi Perpres tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan (Perpres 64/2020).
Ironinya kebijakan tersebut diikuti dengan adanya kebijakan tentang sanksi pemberhentian pelayanan publik bagi konsumen penunggak iuran BPJS Kesehatan. Terkait hal ini, kepedulian Pemerintah pada rakyat kecil patut dipertanyakan kembali. Hak konstitusional rakyat untuk hidup sehat tereduksi, oleh karena itu Perpres Nomor 64 Tahun 2020 harus dicabut.
Selain itu terhadap Perpres tersebut DPR telah menyampaikan keberatannya melalui rapat-rapat di Komisi IX DPR RI dan rapat-rapat gabungan Komisi IX DPR RI bersama Pimpinan DPR RI bersama Pemerintah.
Pemerintah juga dapat dianggap tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019.
Sementara Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan pada Kamis (18/01/2024) menyampaikan akan menaikkan pajak kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan tidak untuk motor listrik. Kemudian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Kantornya, Jumat (08/03/2024) yang memastikan bahwa PPN akan naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 meski presiden berganti. Menurutnya, hal ini dikarenakan Prabowo-Gibran yang unggul dalam Pilpres 2024 ini akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk dalam urusan perpajakan.
Kedua kebijakan tersebut akan membebani masyarakat terutama kelas menengah yang akhirnya akan melahirkan orang miskin baru atau di bawah garis kemiskinan.
Dibuatnya UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang menghilangkan sanksi pidana bagi pelaku usaha, jelas² melanggar UUPK yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen. Sementara, harmonisasi UUPK dengan UU lain/khusus pun belum terlihat selaras (selalu dikesampingkan), hal ini karena UUPK dianggap sebagai UU General/UU Umum yang bisa dikesampingkan oleh UU khusus melalui penerapan asas Lex specialis derogat legi generali.
Melihat kenyataan di atas, penyelenggara negara saat ini masih belum bisa merancang Politik Hukum Perlindungan Konsumen dengan baik, khususnya mengelola ketahanan pangan secara optimal. Di sisi lain, perubahan iklim, krisis geopolitik, dan tata kelola yang masih berantakan membuat harga pangan terus naik, menjadi teror harian bagi konsumen Indonesia.
Secara konstitusional, tanggal 20 April 1999, bangsa Indonesua sudah berkomitmen bahwa UUPK adalah payung hukum dalam melindungi konsumen Indonesia (tertuang dalam alinea terakhir Penjelasan Umum UUPK), sementara setiap orang, mulai jabang bayi sampai manula, termasuk pelaku usaha adalah konsumen.
Konsumen tidak mengenal usia, gender, profesi, jabatan, status sosial dll. Semua rakyat adalah konsumen yang menggunakan/memakai barang dan/atau jasa (setiap pelaku usaha pasti juga konsumen, tapi setiap konsumen belum tentu sebagai pelaku usaha), namun seorang konsumen sudah dipastikan menggunakan lebih dari satu produk barang dan/atau jasa, seperti sebagai konsumen makanan/minuman, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pelayanan publik dll. Dengan kata lain konsumen itu adalah seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu masyarakat menanti tawaran solusi Para Capres/Cawapres untuk merancang Politik Hukum Perlindungan Konsumen baru yang berpihak pada kepentingan masyarakat umum dan mengevaluasi politik hukum perlindungan konsumen yang merugikan dan membebani konsumen. (***)
Dr. Firman T. Endipradja, S.H., S.Sos., M.Hum, dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Ketua Umum HLKI Jabar Banten DKI Jkt.